MENCEGAH UPAYA SEKULARISASI PANCASILA

Oleh: K.H Ma’ruf Amin
Maklumat ke-Indonesia-an yang digagas oleh sejumlah orang dalam simposium nasional di Fisip UI yang lalu, dengan tema Restorasi Pancasila, sebelum Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, dan dibacakan oleh Todung Mulya Lubis dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila menarik untuk dicermati. Inti dari maklumat tersebut adalah penegasan, bahwa Pancasila bukanlah agama, dan tidak boleh ada satu agama pun yang berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila. Di sisi lain, maklumat tersebut juga menegaskan keluhuran Sosialisme, dan keberhasilan material yang diraih oleh Kapitalisme.
Kita memang tidak tahu ada apa di balik penegasan ini. Di satu sisi, Pancasila dinyatakan bukan agama, dan agama juga tidak boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila, sementara Sosialisme —yang dibangun berdasarkan ideologi Materialisme, dan anti agama, dan karenanya bertentangan dengan nilai Pancasila— justru diagungkan. Demikian juga dengan Kapitalisme —yang dibangun berdasarkan Sekularisme, dan setengah anti agama, karena tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya menerima agama, dan nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global, yang justru bertentangan dengan nilai Pancasila— malah dipuja-puja. Maka, dengan membaca sekilas inti maklumat tersebut, kita dengan mudah bisa membaca adanya sejumlah inkonsistensi dan keganjilan di dalamnya.
Vision of State
Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi). Tepatnya, lima nilai dan visi yang hendak diraih dan diwujudkan oleh bangsa Indonesia ketika berihtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila itu anti agama, atau agama harus disingkirkan dari rahim Pancasila. Karena keberadaan agama itu diakui dan dilindungi, serta dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama juga berhak hidup, dan pemeluknya pun bebas menjalankan syariat agamanya. Tentu tidak terkecuali dengan Islam dan umatnya. Sebab, dengan value dan visi ketuhanannya, justru arah negara Indonesia kelak bukanlah negara sekular, juga bukan negara Sosialis-Komunis, maupun Kapitalis-Liberal. Tetapi, sebuah negara yang dibangun berdasarkan nilai dan visi Ketuhanan yang Maha Esa.
Justru karena itulah, maka sangat ganjil dan aneh, jika agama —khususnya Islam— yang ada di dalamnya hendak disingkirkan, dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendominasi. Di sisi lain, hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945, padahal kewajiban menjalankan syariat Islam tetap dijamin oleh sistem hukum di negeri ini. Karena itu, kemudian maklumat atau logika-logika seperti ini, tidak lebih hanyalah tafsiran yang juga nisbi, bahkan maaf sangat absurd, yang pada akhirnya selalu dipaksakan oleh segelintir orang kepada mayoritas rakyat di negeri ini, dengan menggunakan kekuatan sebuah rezim. Memang aneh, di sisi lain, tafsir orang lain atas kebenaran tidak boleh dipaksakan, tetapi mereka sendiri memaksakan tafsirannya atas kebenaran dan bahkan memonopoli tafsiran itu untuk dipaksakan kepada orang lain. Inilah bentuk inkonsistensi cara berfikir. Tetapi, bagi mereka justru ini merupakan bentuk konsistensi, tepatnya konsisten menolak Islam. Meski cara berfikir mereka sendiri inkonsisten.
Justru karena itulah, maka hubungan antara agama, khususnya Islam, dengan negara tidak pernah solid. Ketidaksolidan ini justru terjadi karena adanya pihak yang terus-menerus berupaya membenturkan antara agama dan negara.
Padahal, ketika bangsa yang mayoritas Muslim ini berhasil menyelenggarakan pemilu, orang-orang itu berteriak dengan lantang, bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam. Tapi, giliran umat Islam menuntut syariatnya diterapkan, segera saja mereka menolak dengan menggunakan tafsir kebenaran mereka sendiri, yang maaf sudah klise; bertentangan dengan Pancasila-lah, bertentangan UUD 1945, mengancam keutuhan bangsa, dan tafsir-tafsir teror yang lainnya.
Cara berfikir seperti ini tentu sangat picik, dan tidak jujur. Picik, karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi sebagai pelarian. Tidak jujur, karena orang-orang itu tidak mau menerima kenyataan, bahwa demokrasi yang mereka agung-agungkan itu sendiri mengajarkan vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). Artinya, jika rakyat yang mayoritas itu menginginkan kehidupan mereka diatur oleh syariat, mengapa mereka harus menolak? Inilah logika demokrasi yang sehat. Kalau kepicikan dan ketidakjujuran ini terus dipraktikkan, maka kalangan Muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak dengan demokrasi, apalagi kalangan Muslim yang jelas-jelas menolak sama sekali. Pada akhirnya, umat Islam akan membuktikan sendiri, bahwa demokrasi itu hanyalah jargon kaum Kapitalis-Sekular, untuk mempertahankan kepentingan mereka.
Sekularisasi Pancasila
Pengamat Politik LIPI, Dr. Mochtar Pabottinggi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state (visi negara), yang mendahului berdirinya Republik Indonesia. Visi itu kemudian dituangkan dalam UUD 1945, pasal 29, yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, dengan visi itu para pendiri negara ini justru ingin menegaskan, bahwa negara yang dibangunnya itu bukanlah negara sekular.
Karena itu, tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama untuk dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan, bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama, dan agama tidak boleh memonopoli kebenaran, jelas merupakan upaya untuk menistakan agama, dan memisahkan Pancasila dari agama. Sebagai open idea (ide terbuka) atau open value (nilai terbuka), sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY, seharusnya kontribusi agama, sebut saja Islam, dalam membimbing visi yang dicita-citakan itu tidak boleh dibendung. Apalagi dengan membenturkan keduanya. Justru inilah yang harus segera diakhiri. Karena agama adalah keyakinan, sementara Pancasila yang nota bene bukan agama tidak akan bisa menggeser posisi agama.
Nah, masalahnya kemudian adalah, apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam akan mengancam keharmonisan? Mari kita jujur melihat fakta.
Pertama, selain Islam, agama-agama lain tidak memiliki syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama-agama itu hanya mengatur urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai.
Kedua, bagi Islam, urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai para pemeluk agama lain diserahkan kepada agama mereka masing-masing. Islam justru memberikan kebebasan mereka untuk menjalankan syariat agamanya, pada wilayah yang memang menjadi wilayah agama mereka. Di sisi lain, mereka juga tidak dipaksa untuk menjalankan syariat agama lain, yang diatur oleh syariat agama mereka.
Ketiga, bagi non-Islam, Islam hanya mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, yang nota bene tidak diatur oleh syariat mereka. Sementara bagi kaum Muslim, Islam mengatur semua aspek kehidupan mereka, mulai dari urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai, sampai urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri.
Dengan demikian, secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Masing-masing pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya, dijamin oleh negara. Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Barat, dalam Spain in the Three Religion. Untuk kasus Indonesia, kita tidak mungkin menyingkirkan fakta bahwa:
Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun.
Islam dianut mayoritas, sekitar 87 persen.
Hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga hukum Islam sudah menjadi law of life (hukum yang hidup). Wajar kalau syariah Islam menjadi sumber hukum peraturan perundangan di Indonesia. Aneh kalau ada yang menentangnya.
Di samping itu, secara substansi, ajaran Islam adalah ajaran yang universal, rahmatan lil ‘alamin, bukan hanyarahmatan lil Muslimin. Kalimat rahmatan lil ‘alaminselalu diucapkan oleh semua pihak, termasuk kalangan pejabat, mulai dari presiden hingga kepala desa. Bila semua warga negara tanpa pandang bulu mendapatkan rahmat dari penerapan hukum tersebut, maka harmonisasi pasti tercipta. Adopsi hukum syariah pasti menjamin rahmat bagi semua? Sebab hukum syariah dan ajaran Islam sangat jelas bersumber dari Alquran dan Hadits Nabi SAW yang merupakan wahyu Allah SWT Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, Dzat Yang Maha luas rahmat-Nya.
Mewujudkan cita-cita
Kalau syariat Islam diterapkan, bukan hanya kesatuan dan persatuan Indonesia, tetapi kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, serta hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyaratan atau perwakilan juga diterapkan. Dalam Islam, umat lain mendapatkan perlindungan penuh dari negara. Juga jaminan kebutuhan hidup yang sama, baik sandang, papan, dan pangan, serta kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Nabi SAW pernah mengatakan, “Man adza dzamiiyan faqad adzani (Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sama dengan menganiaya diriku).” Ketika rumah seorang Yahudi hendak digusur oleh Amr bin al-Ash untuk pembangunan masjid, yang berarti menasionalisasi hak milik pribadi, Umar bin Khatab marah dan meminta gubenurnya mengembalikan hak milik pribadi Yahudi tersebut.
Juga kisah Ali bin Abi Thalib, yang bersengketa dengan orang Yahudi soal baju besi. Kasus itu dimenangkan oleh orang Yahudi, yang notabene rakyat jelata. Inilah jaminan yang diberikan Islam, lebih baik dibanding konsep keadilan sosial yang diadopsi dari sosialisme dan kapitalisme.
Demikian halnya dengan hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Islam memberikan ruang yang cukup dan proporsional kepada publik untuk menyampaikan pandangannya. Inilah yang dikenal dengan syura wa akhdz ar-ra’y (permusyawaratan dan pengambilan pendapat). Ada wilayah di mana pendapat tersebut harus diambil dari syariat, ada yang diambil dari pendapat mayoritas, dan ada juga yang diambil berdasarkan pandangan ahli/pakar, atau yang paling benar. Masing-masing didudukkan secara proporsional. Dengan demikian, kebebasan berpendapat tidak akan keluar dari pakemnya. Islam bukan memberangus kebebasan berpendapat, tapi mengarahkan dan membimbingnya.
Dalam Islam, ada Majelis Ummah dan ada juga partai politik yang berfungsi mengontrol pemerintah. Bahkan, kalau pemerintah menyimpang dari haluan negara, ada Mahkamah Madzalim yang bisa memberhentikannya. Lalu, mengapa kita masih mempersoalkan kontribusi Islam? Apakah kita tidak pernah memahami keagungan ajaran Islam? Ataukah kita memang selalu menutup mata, atau mungkin berniat tidak baik terhadap Islam?
_Wallahu a’lam._
Sumber: Koran Republika

IMPACT ECONOMY

IMPACT ECONOMY
KATEGORI : ENTREPRENEURSHIP
Published on Wednesday, 20 September 2017 05:51
Oleh : Muhaimin Iqbal
Ada kekuatan baru di pasar dalam beberapa tahun belakangan ini yang digerakkan oleh individu dan korporasi yang ingin berbuat baik dalam ekonomi. Mereka ingin menyelaraskan antara tujuan untuk mencari untung dengan niat yang dianggap mulia. Bila di dunia pada umumnya hal ini dianggap pilihan baru dalam ber-ekonomi, di dunia Islam ini adalah keharusan. Bahkan ada petunjuk bagi kita agar pengelolaan harta kita itu berdampak bukan hanya pada diri dan keluarga kita, tetapi juga terhadap orang lain. Harta kita itu seperti roda gigi atau gear dalam system rotary gear yang menggerakkan mesin besar yang disebut Impact Economy.
Gear yang paling dalam adalah keluarga kita masing-masing, apa yang kita lakukan terhadap penghasilan dan harta kita akan sangat menentukan seperti apa ekonomi umat ini terbentuk. Agar sadar ataupun tidak sadar kita tidak menumbuh kembangkan system ekonomi kapitalisme ribawi – yang diharamkan oleh Allah, diancam akan dihancurkan dan bahkan Allah dan RasulNya menyatakan perang terhadapnya (QS 2:275, 276, 279) – maka kita harus mengelola harta kita mengikuti petunjukNya.
Contoh pengelolaan pendapatan dan kekayaan yang ideal, saya ambilkan dari hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, dan dikutib Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadus Shalihin sbb :
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari seorang laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara dari awan :” Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara jin atau manusia, tapi dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan di ufuk langit, lantas menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti air (dia ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya. Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab: “Fulan- yaitu nama yang dia dengar di awan tadi”. Pemilik kebun bertanya: “Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku ?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah airnya. Suara itu menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu. Apa yang engkau lakukan terhadap kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan hasilnya untukbersedekah sepertiganya. Aku dan keluargakumemakan daripadanya sepertiganya, dan yangsepertiganya kukembalikan ke sini (sebagai modal penanamannya kembali)”. (HR. Muslim).
Inilah yang menjadi dasar dari prinsip 1/3 dalam pengelolaan harta yang ideal. Yaitu 1/3 untuk sedekah, 1/3 untuk nafkah keluarga dan 1/3 untuk (re) investasi. Bila kita bisa melakukan pengelolan harta dengan prinsip 1/3 ini, maka insyaAllah ‘hujan’ akan turun ke kebun kita meskipun yang lain kekeringan – rezeki yang barokah tetap datang ke kita ketika yang lain tidak mendapatkannya.
Pengelolaan harta dengan prinsip ini, sejalan dan juga akan menggerakkan 3 roda berikutnya, yaitu tiga hal yang akan kita bawa mati sebagaimana hadits berikut :
“Ketika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat , atau anak saleh yang mendoakan orang tuanya” (HR Muslim).
Dari yang 1/3 kita sedekahkan, sebagian menjadi sedekah jariyah yang akan menemani kita ketika tidak ada lagi di dunia ini. Yang 1/3 kita investasikan – sebagiannya diharapkan menjadi investasi yang paling baik yang tidak akan pernah mengalami kerugian – yaitu investasi pada ilmu yang bermanfaat.
Sedangkan 1/3 terakhir yang kita nafkahkan pada anak-anak dan istri kita, diharapkan bisa mengantarkan anak-anak tersebut menjadi anak yang saleh yang akan istiqomah mendoakan kita. Istri kita menjadi penyejuk pandangan kita baik selagi di dunia maupun di akhirat nanti.
Lantas dimana potensi ekonominya ? Perhatikan pada 1/3 yang pertama, yaitu yang kita sedekahkan. Berapa persen penghasilan Anda yang berada di bank ? well awalnya gaji lewat bank 100%, tetapi kemudian dikuras habis menjelang akhir bulan. Yang disimpan di asuransi, dana pensiun dan lain sebaginya jauh lebih kecil lagi. Dengan uang yang sedikit di bank , asuransi , dana pensiun dlsb., itupun yang di syariah sudah menjadi kekuatan yang begitu besar, yang nilainya mencapai sekitar US$ 1.8 trilyun di dunia. Inilah yang disebut pasar Islamic Finance.
Nah sekarang potensi ekonomi sedekah itu sebesar 1/3 penghasilan umat Islam, potensi wakaf adalah 1/3 dari kekayaannya. Bisa dibayangkan sekarang, siapapun yang bisa menggarap ini akan menjadi kekuatan ekonomi yang berdampak sangat besar – jauh lebih besar dari yang sudah terbentuk di pasar Islamic Market tersebut.
Lha apa umat mau membelanjakan harta begitu besar untuk sedekah dan wakaf ? Perlu edukasi memang , tetapi umat terdahulu mau melakukannya – mengapa umat sekarang tidak ? Budaya wakaf yang sangat massive ini – tidak hanya dicontohkan oleh para sahabat seperti Abu Talhah dan Umar bin Khattab, tetapi juga sampai berabad-abad kemudian.
Di jaman Salahuddin Al –Ayyubi (1137-1193) ketika orang-orang kaya berlomba dalam wakaf di berbagai bidang kebajikan, yang miskin-pun tidak mau ketinggalan. Ada yang berwakaf dengan piring, ada yang berwakaf dengan jasa perbaikan perabot rumah tangga dlsb.
Maka yang kita perlu lakukan hanya mengingatkan umat di jaman ini dengan satu ayat, dengan satu ayat ini – bila dihayati maknanya – orang akan berlomba-lomba berwakaf selagi sempat. Satu ayat ini adalah “Kamu sekali-kali tidak akan pernah sampai kepada Al-Birr (Surga) sampai kamu menafkahkan dari apa yang kamu cintai…” (QS 3:92). Hanya dengan satu ayat ini-pun cukup untuk menjadi modal bagi kebangkitan ekonomi umat yang massif !
Tidak sulit membayangkan layanan kesehatan sekelas Bymaristan – ketika orang sakit bukan hanya dilayani gratis sampai sembuh, tetapi ketika pulang masih diberi bekal uang dan baju baru – karena saat itu orang berlomba untuk bersedekah/berwakaf. Ulama-ulama akan focus mengembangkan ilmunya, para penemu dan innovator bisa focus pada karyanya – karena semua ada yang membiayainya lebih dari cukup.
Kemudian 1/3 bagian yang kedua yang digunakan untuk memberi nafkah keluarga, karena tujuannya adalah untuk menghadirkan anak-anak yang saleh dan istri yang menjadi penyejuk pandangan – maka sekolah-sekolah yang berbasis keimanan dan majlis-majlis ilmu akan kebanjiran peminat. Makanan-makanan yang halalan, thoyyiban dan azka tho’am – makanan yang paling murni – akan menjadi prioritas keluarga.
Industri pendidikan dan makanan yang berbeda dengan yang ada sekarang akan tumbuh pesat. Orang tua akan berubah dari target utama anak menjadi sarjana – seperti yang terjadi sekarang, menjadi targetnya anak saleh yang mandiri – karena kemandirian adalah bagian dari kesalehan itu sendiri. Menjadi sarjana dalam berbagai bidang akan menjadi nice to have, tetapi kesalehan dan kemandirian adalah yang must have.
Industri makanan akan berubah dari yang targetnya sekedar massal dan murah untuk menguasai pangsa pasar, menjadi industri makanan secara kecil namun menyebar dimana-mana. Mengapa demikian ? karena orang akan mementingkan – traceable food – yaitu makanan yang diketahui betul asal-usul bahannya sampai siapa yang memasaknya. Makanan yang enak tetapi tidak azka tho’am – yaitu makanan yang tercampur berbagai perasa yang tidak seharusnya ada di makanan akan ditinggalkan orang.
Kemudian untuk 1/3 terakhir yaitu yang diinvestasikan akan berubah orientasi. Kalau sekarang orientasi hasil investasi adalah yang memberikan imbal hasil materi yang tinggi, akan berubah menjadi bagaimana investasi itu akan mencerdaskan dan menjadi jalan untuk pengamalan ilmu yang bermanfaat – karena orang tahu bahwa ilmu yang bermanfaat inilah yang akan dibawa mati, bukan hasil investasi yang tinggi.
Walhasil, Impact Economy itu akan terbangun secara otomatis bila kita mengikuti petunjukNya ketika kita membelanjakan harta. Karena hanya tiga hal yang akan kita bawa mati, maka ‘check-list’-nya menjadi sederhana.
Yaitu pikirkan dampak dari setiap pengeluaran kita, apakah dia akan berdampak pada 1) sedekah jariyah, 2) ilmu yang bermanfaat , atau 3) anak saleh. Bila suatu pengeluaran bersifat netral dari ketiganya – artinya tidak berdampak apa-apa – maka pengeluaran tersebut tidak perlu menjadi prioritas. Bila dia bersifat negatif, yaitu menjauhkan salah satu dari tiga hal tersebut – dia perlu ditinggalkan, itulah Impact Economy bagi kita-kita.

Komentar Para Tokoh Dunia Tentang Nabi Muhammad

Komentar Para Tokoh Dunia Tentang Nabi Muhammad
1. Mahatma Gandhi (komentar mengenai karakter Muhammad di Young India)
“Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh yang paling mempengaruhi manusia. Saya lebih dari yakin bahwa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam pada masanya. Tapi ia datang dari kesederhanaan, kebersahajaan, kehati-hatian Muhammad; serta pengabdian luar biasa kepada teman dan pengikutnya, tekadnya, keberaniannya, serta keyakinannya pada Tuhan dan tugasnya.”
“Semua ini (dan bukan pedang) menyingkirkan segala halangan. Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 (biografi Muhammad), saya sedih karena tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya yang agung.”
2. Sir George Bernard Shaw, dalam bukunya “The Genuine Islam”
“Jika ada agama yang berpeluang menguasai Inggris bahkan Eropa, beberapa ratus tahun dari sekarang, Islamlah agama tersebut.
Saya senantiasa menghormati agama Muhammad karena potensi yang dimilikinya. Ini adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sebagai sosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti-kristus, dia harus dipanggil “sang penyelamat kemanusiaan.”
“Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan yang sedemikian rupa hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia. Menurutku, keyakinan yang dibawanya akan diterima Eropa di masa datang dan memang ia telah mulai diterima Eropa saat ini.
Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini. Dia membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaruan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya, dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang.
Dia adalah Muhammad. Dia lahir di Arab tahun 570 Masehi, memulai misi mengajarkan agama kebenaran, Islam (penyerahan diri pada Tuhan) pada usia 40 tahun dan meninggalkan dunia ini pada usia 63. Sepanjang masa kenabiannya yang pendek (23 tahun) dia telah merubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para pemuja Tuhan yang Esa, dari peperangan dan perpecahan antar suku menjadi bangsa yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar, dari kaum tak berhukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur, dari kebobrokan menuju keagungan moral. Sejarah manusia tidak pernah mengenal transformasi sebuah masyarakat atau tempat sedahsyat ini bayangkan ini terjadi dalam kurun waktu hanya sedikit, hanya dua dekade.”
3. Michael H. Hart, dalam bukunya “The 100, A Ranking Of The Most Influential Persons In History”
“Pilihan saya untuk menempatkan Muhammad pada urutan teratas mungkin mengejutkan semua pihak, tapi dialah satu-satunya orang yang sukses baik dalam tataran sekular maupun agama (hal. 33). Lamar Tine, seorang sejarawan terkemuka menyatakan bahwa: ‘Jika keagungan sebuah tujuan, kecilnya fasilitas yang diberikan untuk mencapai tujuan tersebut, serta menakjubkannya hasil yang dicapai menjadi tolok ukur kejeniusan seorang manusia; siapakah yang berani membandingkan tokoh hebat manapun dalam sejarah modern dengan Muhammad? Tokoh-tokoh itu membangun pasukan, hukum dan kerajaan saja. Mereka hanyalah menciptakan kekuatan-kekuatan material yang hancur bahkan di depan mata mereka sendiri.’
Muhammad bergerak tidak hanya dengan tentara, hukum, kerajaan, rakyat dan dinasti, tapi jutaan manusia di dua per tiga wilayah dunia saat itu; lebih dari itu, ia telah merubah altar-altar pemujaan, sesembahan, agama, pikiran, kepercayaan serta jiwa. Kesabarannya dalam kemenangan dan ambisinya yang dipersembahkan untuk satu tujuan tanpa sama sekal nmi berhasrat membangun kekuasaan, sembahyang-sembahyangnya, dialognya dengan Tuhan, kematiannnya dan kemenangan-kemenangan (umatnya) setelah kematiannya; semuanya membawa keyakinan umatnya hingga ia memiliki kekuatan untuk mengembalikan sebuah dogma. Dogma yang mengajarkan ketunggalan dan keghaiban (immateriality) Tuhan yang mengajarkan siapa sesungguhnya Tuhan. Dia singkirkan tuhan palsu dengan kekuatan dan mengenalkan tuhan yang sesungguhnya dengan kebijakan. Seorang filosof yang juga seorang orator, prajurit, ahli hukum, penakluk ide, pengembali dogma-dogma rasional dari sebuah ajaran tanpa pengidolaan, pendiri 20 kerajaan di bumi dan satu kerajaan spiritual, ialah Muhammad. Dari semua standar bagaimana kehebatan seorang manusia diukur, mungkin kita patut bertanya: adakah orang yang lebih agung dari dia?”
4. Lamar Tine, dalam bukunya “Histoire De La Turquie”
“Dunia telah menyaksikan banyak pribadi-pribadi agung. Namun, dari orang-orang tersebut hanya sukses pada satu atau dua bidang saja, misalnya agama atau militer. Hidup dan ajaran orang-orang ini seringkali terselimuti kabut waktu dan zaman. Begitu banyak spekulasi tentang waktu dan tempat lahir mereka, cara dan gaya hidup mereka, sifat dan detail ajaran mereka, serta tingkat dan ukuran kesuksesan mereka sehingga sulit bagi manusia untuk merekonstruksi ajaran dan hidup tokoh-tokoh ini.
Tidak demikian dengan orang Muhammad, ia telah begitu tinggi menggapai berbagai bidang pikir dan perilaku manusia dalam sebuah episode cemerlang sejarah manusia. Setiap detil dari kehidupan pribadi dan ucapan-ucapannya telah secara akurat didokumentasikan dan dijaga dengan teliti sampai saat ini.
Keaslian ajarannya begitu terjaga, tidak saja oleh karena penelusuran yang dilakukan para pengikut setianya tapi juga oleh para penentangnya. Muhammad adalah seorang agamawan, reformis sosial, teladan moral, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang penyayang, semua menjadi satu.
Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehidupan tersebut. Hanya dengan kepribadian seperti dialah keagungan seperti ini dapat diraih.”
5. K. S. Ramakrishna Rao, dalam bookletnya “Muhammad, The Prophet of Islam”
“Kepribadian Muhammad, sangat sulit untuk menggambarkannya dengan tepat. Saya pun hanya bisa menangkap sekilas saja. Betapa ia adalah lukisan yang indah. Anda bisa lihat Muhammad sang Nabi, Muhammad sang pejuang, Muhammad sang pengusaha, Muhammad sang negarawan, Muhammad sang orator ulung, Muhammad sang pembaharu, Muhammad sang pelindung anak yatim-piatu, Muhammad sang pelindung hamba sahaya, Muhammad sang pembela hak wanita, Muhammad sang hakim, Muhamad sang pemuka agama. Dalam setiap perannya tadi, ia adalah seorang pahlawan.
Saat ini, 14 abad kemudian, kehidupan dan ajaran Muhammad tetap selamat, tiada yang hilang atau berubah sedikit pun. Ajaran yang menawarkan secercah harapan abadi tentang obat atas segala penyakit kemanusiaan yang ada dan telah ada sejak masa hidupnya. Ini bukanlah klaim seorang pengikutnya tapi juga sebuah simpulan tak terelakkan dari sebuah analisis sejarah yang kritis dan tidak bias.”
6. Profesor (Snouck) Hurgronje
“Liga bangsa-bangsa yang didirikan Nabi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar persatuan internasional dan persaudaraan manusia di atas pondasi yang universal yang menerangi bagi bangsa lain. Buktinya, sampai saat ini tiada satu bangsa pun di dunia yang mampu menyamai Islam dalam capaiannya mewujudkan ide persatuan bangsa-bangsa.
Dunia telah banyak mengenal konsep ketuhanan, telah banyak individu yang hidup dan misinya lenyap menjadi legenda. Sejarah menunjukkan tiada satu pun legenda ini yang menyamai bahkan sebagian dari apa yang Muhammad capai. Seluruh jiwa raganya ia curahkan untuk satu tujuan menyatukan manusia dalam pengabdian kapada Tuhan dalam aturan-aturan ketinggian moral. Muhammad atau pengikutnya tidak pernah dalam sejarah menyatakan bahwa ia adalah putra Tuhan atau reinkarnasi Tuhan atau seorang jelmaan Tuhan dia selalu sejak dahulu sampai saat ini menganggap dirinya dan dianggap oleh pengikutnya hanyalah sebagai seorang pesuruh yang dipilih Tuhan.”
7. Thomas Carlyle, dalam bukunya “His Heroes And Heroworship”
“Betapa menakjubkan seorang manusia sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling berperang dan kaum nomaden (Badui) menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang dari dua dekade.
Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri. Sesosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia, begitulah perintah Sang Pencipta Dunia. Diantara aib terbesar yang ada hari ini ialah bahwa masih ada saja orang yang mengatakan bahwa Islam adalah bohong dan Muhammad adalah penipu.
Saudaraku, apakah kalian pernah menyaksikan, dalam sejarah, seorang pendusta yang mampu menyampaikan sebuah agama yang sedemikian kokoh dan menyebarkannya ke seluruh dunia? Saya yakin bahwa manusia harus bergerak sesuai dengan UU dan logika. Jika tidak maka ia tidak akan mungkin mencapai tujuannya. Mustahil bahwa manusia besar ini adalah seorang pembohong. Karena pada kenyataannya, kebenaran dan kejujuran adalah dasar semua kerjanya dan pondasi semua sifat utamanya.
Pandangan yang kokoh, pemikiran-pemikiran yang lurus, kecerdasan, kecermatan, dan pengetahuannya akan kemaslahatan umum, merupakan bukti-bukti nyata kepandaiannya. Kebutahurufannya justru memberikan nilai positif yang sangat mengagumkan. Ia tidak pernah menukil pandangan orang lain, dan ia tak pernah memperoleh setetes pun informasi dari selainnya. Allah-lah yang telah mencurahkan pengetahuan dan hikmah kepada manusia agung ini. Sejak hari-hari pertamanya, ia sudah dikenal sebagai seorang pemuda yang cerdas, terpercaya dan jujur. Tak akan keluar dari mulutnya suatu ucapan kecuali memberikan manfaat dan hikmah yang amat luas.
Hati manusia mulia putra padang pasir ini penuh dengan kebaikan dan kasih sayang. Ajaran-ajarannya terjauh dari semangat egoisme, dan pandangan-pandangannya bersih dari ketamakan kepada pangkat kedudukan duniawi. Saya mencintai Muhammad dengan segenap wujud, karena seluruh wataknya sangat jauh dari tipu muslihat dan basa-basi.”
8. Gustav Lebon, cendekiawan Perancis, dalam bukunya “Peradaban Islam dan Arab”
“Jika kita ingin mengukur kehebatan tokoh-tokoh besar dengan karya-karya dan hasil kerjanya, maka harus kita katakan bahwa diantara seluruh tokoh sejarah, Nabi Islam adalah manusia yang sangat agung dan ternama.
Meskipun selama 20 tahun, penduduk Makkah memusuhi Nabi sedemikian kerasnya, dan tak pernah berhenti mengganggu dan menyakiti beliau, namun pada saat Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), beliau menunjukkan puncak nilai kemanusiaan dan kepahlawanan dalam memperlakukan warga Makkah. Beliau hanya memerintahkan agar patung-patung di sekitar dan di dalam Ka’bah dibersihkan.
Hal yang patut diperhatikan dalam kepribadian beliau ialah bahwa sebagaimana tidak pernah takut menghadapi kegagalan, ketika memperoleh kemenangan pun beliau tidak pernah menyombong dan tetap menunjukkan sikapnya yang lurus.”
9. Will Durant, sejawaran AS, dalam dua buku sejarahnya, juga memuji Muhammad Rasul Allah.
Ia menulis, “Kita harus katakan bahwa Muhammad adalah tokoh sejarah terbesar. Ketika memulai dakwahnya, negeri Arab adalah sebentang padang pasir kering dan kosong, yang di beberapa kawasannya dihuni oleh sejumlah kaum Arab penyembah berhala. Jumlah mereka kecil tapi perselisihan diantara mereka sangat banyak.
Akan tetapi ketika beliau wafat, penduduk Arab ini pula telah muncul sebagai umat yang bersatu dan kompak. Beliau menghapus segala macam khurafat dan fanatisme dan menyuguhkan sebuah agama dyang sederhana tapi kokoh dan terang benderang yang dibangun di atas dasar keberanian dan kemuliaan. Kitab beliau adalah Al-Quran dan tak ada kitab lain yang mampu menandinginya dari segi kekuatan pengaruh dan daya tariknya.”
10. John Diven Port, cendekiawan Inggris.
Ia menyatakan penyesalannya terhadap sikap tendensius terhadap Nabi Islam. Dalam bukunya yang ia tulis berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW, dengan segala kejujuran dan kecintaan yang mendalam kepada Nabi, ia berusaha membersihkan segala macam kedustaan dan tuduhan negatif dari kehidupan Nabi Muhammad, dan mengajak orang-orang sesat ini untuk merenung dan berpikir dengan benar.
Diven Port menulis, “Dari segi keindahan dan kebaikan watak dan perilaku, Muhammad memiliki keistimewaan yang sangat tinggi. Mereka yang tidak memiliki watak-watak seperti inilah yang memandang beliau sebagai sesuatu yang tak bernilai.
Sebelum memulai ucapannya, beliau telah menarik para pendengar beliau, baik satu orang atau banyak, dengan akhlak dan peringainya yang sangat mulia. Wajah beliau memancarkan kewibawaan sekaligus daya tarik yang amat kuat. Senyumnya yang indah takpernah lepas dari bibir beliau. Pada akhirnya, hal-hal lembut dan menarik selalu beliau masukkan dalam tutur kata beliau, memaksa setiap orang memujinya. Oleh sebab itulah beliau dikenal sebagai tokoh agama yang paling langka di dunia.”
11. Dosun, penulis Perancis, dalam bukunya “Muhammad dan Islam”
“Pada umumnya, warga Perancis tidak menaruh minat kepada pembahasan masalah-masalah keagamaan. Akan tetapi, mereka yang taat beragama dan pemikir Perancis memiliki pandangan lain kepada Islam. Hakekatnya ialah bahwa kemunculan Islam dan penyebarannya termasuk diantara hasil karya besar dan amat penting bagi sejarah manusia. Di akhir abad ketujuh Islam mampu merambah ke Suriah, Iran, Mesir dan dunia Arab, dan menyebar di seluruh Afrika Utara, serta menguasai seluruh pulau-pulau di laut Mediterania, kemudian masuk pula ke India dan Cina. Saat ini Islam telah memberikan pengarunya yang luas dalam peradaban dunia serta dalam politik kontemporer. Keberhasilan perjuangan Muhammad saaw, dalam menggeser UU yang berlaku di negara-negara Asia, padahal mereka termasuk diantara negara terkuno di dunia, serta ketahanan UU Islam ini selama berabad-abad, merupakan bukti terbaik yang menunjukkan kebenaran tokoh ini dan keistimewaannya yang langka.”
12. Edward Gibbon dalam pidatonya yang bertajuk “Profession of Islam”
“Saya percaya bahwa Tuhan adalah tunggal dan Muhammad adalah pesuruh-Nya adalah pengakuan kebenaran Islam yang simpel dan seragam. Tuhan tidak pernah dihinakan dengan pujaan-pujaan kemakhlukan; penghormatan terhadap Sang Nabi tidak pernah berubah menjadi pengkultusan berlebihan; dan prinsip-prinsip hidupnya telah memberinya penghormatan dari pengikutnya dalam batas-batas akal dan agama.”
13. Simon Ockley dalam bukunya “History Of The Saracen Empires”
“Muhammad tidak lebih dari seorang manusia biasa. Tapi ia adalah manusia dengan tugas mulia untuk menyatukan manusia dalam pengabdian terhadap satu dan hanya satu Tuhan serta untuk mengajarkan hidup yang jujur dan lurus sesuai perintah Tuhan. Dia selalu menggambarkan dirinya sebagai ‘hamba dan pesuruh Tuhan dan demikianlah juga setiap tindakannya.”
14. Sarojini Naidu, penyair terkenal India (S. Naidu, Ideals of Islam)
“Inilah agama pertama yang mengajarkan dan mempraktekkan demokrasi; di setiap masjid, ketika adzan dikumandangkan dan jamaah telah berkumpul, demokrasi dalam Islam terwujud lima kali sehari ketika seorang hamba dan seorang raja berlutut berdampingan dan mengakui; Allah Maha Besar. Saya terpukau lagi dan lagi oleh kebersamaan Islam yang secara naluriah membuat manusia menjadi bersaudara.”
15. James A. Michener dalam bukunya “Islam: The Misunderstood Religion”
“Muhammad, seorang inspirator yang mendirikan Islam, dilahirkan pada tahun 570 masehi dalam masyarakat Arab penyembah berhala. Yatim semenjak kecil, dia secara khusus memberikan perhatian kepada fakir miskin, yatim piatu dan janda, serta hamba sahaya dan kaum lemah. Di usia 20 tahun, dia sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses, dan menjadi pengelola bisnis seorang janda kaya. Ketika mencapai usia 25, sang majikan melamarnya. Meski usia perempuan tersebut 15 tahun lebih tua Muhammad menikahinya dan tetap setia kepadanya sepanjang hayat sang istri.
Seperti halnya para nabi lain, Muhammad memulai tugas kenabiannya dengan sembunyi-sembunyi dan ragu-ragu karena menyadari kelemahannya. Tapi “membaca” adalah perintah yang diperolehnya, dan keluarlah dari mulutnya satu kalimat yang akan segera mengubah dunia: Tiada tuhan selain Allah.
Dalam setiap hal, Muhammad adalah seorang yang mengedepankan akal. Ketika putranya, Ibrahim, meninggal disertai gerhana dan menimbulkan anggapan ummatnya bahwa hal tersebut adalah wujud rasa belasungkawa Tuhan kepadanya, Muhammad berkata: ‘Gerhana adalah sebuah kejadian alam biasa, adalah suatu kebodohan mengkaitkannya dengan kematian atau kelahiran seorang manusia.’
Sesaat setelah ia meninggal, sebagian pengikutnya hendak memujanya sebagaimana Tuhan dipuja, akan tetapi penerus kepemimpinannya (Abu Bakar -red) menepis keingingan ummatnya itu dengan salah satu pidato relijius terindah sepanjang masa; ‘Jika ada diatara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwa ia telah meninggal. Tapi jika Allah yang hendak kalian sembah, ketahuilah bahwa Ia hidup selamanya.’”
16. W. Montgomery Watt dalam bukunya “Mohammad At Mecca”
“Kesiapannya menempuh tantangan atas keyakinannya, ketinggian moral para pengikutnya, serta pencapaiannya yang luar biasa semuanya menunjukkan integritasnya. Mengira Muhammad sebagai seorang penipu hanyalah memberikan masalah dan bukan jawaban. Lebih dari itu, tiada figur hebat yang digambarkan begitu buruk di Barat selain Muhammad.”
17. Annie Besant, dalam bukunya “The Life And Teachings Of Muhammad”
“Sangat mustahil bagi seseorang yang memperlajari karakter Nabi Bangsa Arab, yang mengetahui bagaimana ajarannya dan bagaimana hidupnya untuk merasa kan selain hormat terhadap beliau, salah satu utusan-Nya. Dan meskipun dalam semua yang saya gambarkan banyak hal-hal yang terasa biasa, namun setiap kali saya membaca ulang kisah-kisahnya, setiap kali pula saya mersakan kekaguman dan penghormatan kepada sang Guru Bangsa Arab tersebut.”
18. Bosworth Smith, dalam bukunya Mohammad And Mohammadanism
“Dia adalah perpaduan Caesar dan Paus; tapi dia adalah sang Paus tanpa pretensinya dan seorang caesar tanpa Legionnaire-nya: tanpa tentara, tanpa pengawal, tanpa istana, tanpa pengahasilan tetap; jika ada seorang manusia yang pantas untuk berkata bahwa dia-lah wakil Tuhan penguasa dunia, Muhammad lah orang itu, karena dia memiliki kekuatan meski ia tak memiliki segala instrumen atau penyokongnya.”
19. John Austin, dalam bukunya “Muhammad the Prophet of Allah”
“Dalam kurun waktu hanya sedikit lebih dari satu tahun, ia telah menjadi pemimpin di Madinah. Kedua tangannya memegang sebuah tuas yang siap mengguncang dunia.”
20. Professor Jules Masserman
“Pasteur dan Salk adalah pemimpin dalam satu hal. Gandhi dan Konfusius pada hal lain serta Alexander, Caesar dan Hitler mungkin pemimpin pada kategori kedua dan ketiga (reliji dan militer -red). Jesus dan Buddha mungkin hanya pada kategori kedua. Mungkin pemimpin terbesar sepanjang masa adalah Muhammad, yang sukses pada semua kategori tersebut. Dalam skala yang lebih kecil Musa juga melakukan hal yang sama.” (fimadani)