IMPACT ECONOMY

IMPACT ECONOMY
KATEGORI : ENTREPRENEURSHIP
Published on Wednesday, 20 September 2017 05:51
Oleh : Muhaimin Iqbal
Ada kekuatan baru di pasar dalam beberapa tahun belakangan ini yang digerakkan oleh individu dan korporasi yang ingin berbuat baik dalam ekonomi. Mereka ingin menyelaraskan antara tujuan untuk mencari untung dengan niat yang dianggap mulia. Bila di dunia pada umumnya hal ini dianggap pilihan baru dalam ber-ekonomi, di dunia Islam ini adalah keharusan. Bahkan ada petunjuk bagi kita agar pengelolaan harta kita itu berdampak bukan hanya pada diri dan keluarga kita, tetapi juga terhadap orang lain. Harta kita itu seperti roda gigi atau gear dalam system rotary gear yang menggerakkan mesin besar yang disebut Impact Economy.
Gear yang paling dalam adalah keluarga kita masing-masing, apa yang kita lakukan terhadap penghasilan dan harta kita akan sangat menentukan seperti apa ekonomi umat ini terbentuk. Agar sadar ataupun tidak sadar kita tidak menumbuh kembangkan system ekonomi kapitalisme ribawi – yang diharamkan oleh Allah, diancam akan dihancurkan dan bahkan Allah dan RasulNya menyatakan perang terhadapnya (QS 2:275, 276, 279) – maka kita harus mengelola harta kita mengikuti petunjukNya.
Contoh pengelolaan pendapatan dan kekayaan yang ideal, saya ambilkan dari hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim, dan dikutib Imam Nawawi dalam kitabnya Riyadus Shalihin sbb :
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari seorang laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara dari awan :” Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara jin atau manusia, tapi dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan di ufuk langit, lantas menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti air (dia ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya. Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab: “Fulan- yaitu nama yang dia dengar di awan tadi”. Pemilik kebun bertanya: “Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku ?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah airnya. Suara itu menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu. Apa yang engkau lakukan terhadap kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan hasilnya untukbersedekah sepertiganya. Aku dan keluargakumemakan daripadanya sepertiganya, dan yangsepertiganya kukembalikan ke sini (sebagai modal penanamannya kembali)”. (HR. Muslim).
Inilah yang menjadi dasar dari prinsip 1/3 dalam pengelolaan harta yang ideal. Yaitu 1/3 untuk sedekah, 1/3 untuk nafkah keluarga dan 1/3 untuk (re) investasi. Bila kita bisa melakukan pengelolan harta dengan prinsip 1/3 ini, maka insyaAllah ‘hujan’ akan turun ke kebun kita meskipun yang lain kekeringan – rezeki yang barokah tetap datang ke kita ketika yang lain tidak mendapatkannya.
Pengelolaan harta dengan prinsip ini, sejalan dan juga akan menggerakkan 3 roda berikutnya, yaitu tiga hal yang akan kita bawa mati sebagaimana hadits berikut :
“Ketika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat , atau anak saleh yang mendoakan orang tuanya” (HR Muslim).
Dari yang 1/3 kita sedekahkan, sebagian menjadi sedekah jariyah yang akan menemani kita ketika tidak ada lagi di dunia ini. Yang 1/3 kita investasikan – sebagiannya diharapkan menjadi investasi yang paling baik yang tidak akan pernah mengalami kerugian – yaitu investasi pada ilmu yang bermanfaat.
Sedangkan 1/3 terakhir yang kita nafkahkan pada anak-anak dan istri kita, diharapkan bisa mengantarkan anak-anak tersebut menjadi anak yang saleh yang akan istiqomah mendoakan kita. Istri kita menjadi penyejuk pandangan kita baik selagi di dunia maupun di akhirat nanti.
Lantas dimana potensi ekonominya ? Perhatikan pada 1/3 yang pertama, yaitu yang kita sedekahkan. Berapa persen penghasilan Anda yang berada di bank ? well awalnya gaji lewat bank 100%, tetapi kemudian dikuras habis menjelang akhir bulan. Yang disimpan di asuransi, dana pensiun dan lain sebaginya jauh lebih kecil lagi. Dengan uang yang sedikit di bank , asuransi , dana pensiun dlsb., itupun yang di syariah sudah menjadi kekuatan yang begitu besar, yang nilainya mencapai sekitar US$ 1.8 trilyun di dunia. Inilah yang disebut pasar Islamic Finance.
Nah sekarang potensi ekonomi sedekah itu sebesar 1/3 penghasilan umat Islam, potensi wakaf adalah 1/3 dari kekayaannya. Bisa dibayangkan sekarang, siapapun yang bisa menggarap ini akan menjadi kekuatan ekonomi yang berdampak sangat besar – jauh lebih besar dari yang sudah terbentuk di pasar Islamic Market tersebut.
Lha apa umat mau membelanjakan harta begitu besar untuk sedekah dan wakaf ? Perlu edukasi memang , tetapi umat terdahulu mau melakukannya – mengapa umat sekarang tidak ? Budaya wakaf yang sangat massive ini – tidak hanya dicontohkan oleh para sahabat seperti Abu Talhah dan Umar bin Khattab, tetapi juga sampai berabad-abad kemudian.
Di jaman Salahuddin Al –Ayyubi (1137-1193) ketika orang-orang kaya berlomba dalam wakaf di berbagai bidang kebajikan, yang miskin-pun tidak mau ketinggalan. Ada yang berwakaf dengan piring, ada yang berwakaf dengan jasa perbaikan perabot rumah tangga dlsb.
Maka yang kita perlu lakukan hanya mengingatkan umat di jaman ini dengan satu ayat, dengan satu ayat ini – bila dihayati maknanya – orang akan berlomba-lomba berwakaf selagi sempat. Satu ayat ini adalah “Kamu sekali-kali tidak akan pernah sampai kepada Al-Birr (Surga) sampai kamu menafkahkan dari apa yang kamu cintai…” (QS 3:92). Hanya dengan satu ayat ini-pun cukup untuk menjadi modal bagi kebangkitan ekonomi umat yang massif !
Tidak sulit membayangkan layanan kesehatan sekelas Bymaristan – ketika orang sakit bukan hanya dilayani gratis sampai sembuh, tetapi ketika pulang masih diberi bekal uang dan baju baru – karena saat itu orang berlomba untuk bersedekah/berwakaf. Ulama-ulama akan focus mengembangkan ilmunya, para penemu dan innovator bisa focus pada karyanya – karena semua ada yang membiayainya lebih dari cukup.
Kemudian 1/3 bagian yang kedua yang digunakan untuk memberi nafkah keluarga, karena tujuannya adalah untuk menghadirkan anak-anak yang saleh dan istri yang menjadi penyejuk pandangan – maka sekolah-sekolah yang berbasis keimanan dan majlis-majlis ilmu akan kebanjiran peminat. Makanan-makanan yang halalan, thoyyiban dan azka tho’am – makanan yang paling murni – akan menjadi prioritas keluarga.
Industri pendidikan dan makanan yang berbeda dengan yang ada sekarang akan tumbuh pesat. Orang tua akan berubah dari target utama anak menjadi sarjana – seperti yang terjadi sekarang, menjadi targetnya anak saleh yang mandiri – karena kemandirian adalah bagian dari kesalehan itu sendiri. Menjadi sarjana dalam berbagai bidang akan menjadi nice to have, tetapi kesalehan dan kemandirian adalah yang must have.
Industri makanan akan berubah dari yang targetnya sekedar massal dan murah untuk menguasai pangsa pasar, menjadi industri makanan secara kecil namun menyebar dimana-mana. Mengapa demikian ? karena orang akan mementingkan – traceable food – yaitu makanan yang diketahui betul asal-usul bahannya sampai siapa yang memasaknya. Makanan yang enak tetapi tidak azka tho’am – yaitu makanan yang tercampur berbagai perasa yang tidak seharusnya ada di makanan akan ditinggalkan orang.
Kemudian untuk 1/3 terakhir yaitu yang diinvestasikan akan berubah orientasi. Kalau sekarang orientasi hasil investasi adalah yang memberikan imbal hasil materi yang tinggi, akan berubah menjadi bagaimana investasi itu akan mencerdaskan dan menjadi jalan untuk pengamalan ilmu yang bermanfaat – karena orang tahu bahwa ilmu yang bermanfaat inilah yang akan dibawa mati, bukan hasil investasi yang tinggi.
Walhasil, Impact Economy itu akan terbangun secara otomatis bila kita mengikuti petunjukNya ketika kita membelanjakan harta. Karena hanya tiga hal yang akan kita bawa mati, maka ‘check-list’-nya menjadi sederhana.
Yaitu pikirkan dampak dari setiap pengeluaran kita, apakah dia akan berdampak pada 1) sedekah jariyah, 2) ilmu yang bermanfaat , atau 3) anak saleh. Bila suatu pengeluaran bersifat netral dari ketiganya – artinya tidak berdampak apa-apa – maka pengeluaran tersebut tidak perlu menjadi prioritas. Bila dia bersifat negatif, yaitu menjauhkan salah satu dari tiga hal tersebut – dia perlu ditinggalkan, itulah Impact Economy bagi kita-kita.

Leave a comment