HARI-HARI ini Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD)
dipastikan pusing tujuh keliling. Perseteruan antara Kabareskrim
Komjen Pol Susno Duadji dan KPK membuat BHD terus-menerus mendapatkan
serangan dan kecaman. Puncaknya ketika Polri menahan mantan Ketua KPK
Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.
Tanpa ada yang mengomando, sejumlah tokoh nasional, ahli hukum, dan
media massa serentak mengecam penahanan Bibit dan Chandra. Ratusan
ribu orang juga menyatakan dukungan dan simpatinya kepada Bibit dan
Chandra melalui jejaring sosial Facebook. Citra korps kepolisian pun
terus merosot akibat permusuhannya dengan lembaga antikorupsi
tersebut.
Polisi dituding sangat berlebihan dan panik setelah transkrip
pembicaraan telepon antara pihak yang terkait kasus suap bos Masaro
Anggoro Widjojo dengan petinggi Polri dan Kejagung terekspos di media
massa. Isi rekaman itu semakin menguatkan dugaan adanya rekayasa dan
kriminalisasi KPK dalam drama Cicak versus Buaya tersebut.
Sebelumnya, Kapolri didesak mencopot Kabareskrim Susno Duadji.
Penyebabnya, pertama, Susno diduga terlibat penyuapan kasus Bank
Century. Kedua, Susno dituduh terlibat kasus dugaan rekayasa untuk
mengkriminalisasi pimpinan KPK terkait dengan kasus bos Masaro Anggoro
Widjojo yang kini menjadi buron KPK.
Hingga kini, Kapolri belum juga menonaktifkan Susno Duadji dari
jabatan sebagai orang nomor satu di jajaran Bareskrim Polri. Kapolri
berdalih, Sidang Kode Etik Polri tidak menemukan adanya pelanggaran
etika pada mantan Kapolda Jabar itu. Namun, publik kembali tidak puas
dengan keputusan tersebut. Institusi kepolisian justru dianggap tidak
serius dalam memeriksa Susno karena tidak menghadirkan saksi dari luar
dan barang bukti yang dinilai bisa menguatkan tuduhan terhadap
Kabareskrim.
Di tengah turunnya popularitas polisi itu, publik -khususnya di Jawa
Timur- dikejutkan oleh pergantian Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Anton
Bachrul Alam. Memang, bukan hanya Kapolda Jatim yang dimutasi.
Beberapa Kapolda lainnya juga dimutasi yang serah terimanya sudah
dilakukan di Mabes Polri pekan lalu. Irjen Anton yang baru delapan
bulan menjadi Kapolda Jatim tiba-tiba ”di-sahli (staf ahli)-kan” di
Mabes Polri. Dia menjadi staf ahli Kapolri bidang sosial ekonomi.
Selama ini, jabatan sahli sering diidentikan dengan tempat
”pembuangan” jenderal polisi yang bermasalah. Misalnya, mantan
Kapolda Sumut Irjen Pol Nanan Soekarno yang ”di-sahli-kan” pasca
terjadinya unjuk rasa anarkis di DPRD Sumut yang mengakibatkan
tewasnya Ketua Dewan Abdul Aziz Angkat. Kini Nanan yang disebut-sebut
orangnya BHD itu menjadi Kadiv Humas Polri.
Kapolda Maluku Brigjen Pol Gatot Guntur Setiawan juga ditarik menjadi
sahli Kapolri karena dinilai kecolongan atas pengibaran RMS (Republik
Maluku Selatan) di depan presiden. Selain itu, Kapolda Kalimantan
Barat Brigjen Pol Zainal Abidin Ishak masuk kotak di Mabes Polri
menjadi sahli Kapolri. Dia dituding melakukan pembiaran terjadinya
pembalakan liar di wilayahnya.
Beda Perlakuan
Pergantian Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam menjadi sahli
Kapolri di luar perkiraan banyak orang. Bukan karena Anton diganti
Brigjen Pol Pratiknyo yang sebelumnya menjadi Wakaba Intelkam Polri.
Tapi, lantaran posisi baru Anton yang sama sekali bukan promosi.
Padahal, kinerja Anton sebagai Kapolda Jatim tergolong sukses.
Dia berhasil menjaga suhu politik dan situasi kamtibmas di provinsi
yang menjadi barometer nasional itu tetap kondusif. Mulai tiga kali
pilgub Jatim, pileg, hingga pilpres. Di bawah kepemimpinan jenderal
polisi yang alim ini, banyak kasus kriminal menonjol yang diungkap
jajaran polisi di Jawa Timur. Tak cuma itu, masyarakat dan tokoh agama
di Jatim juga gandrung dan cocok dengan penampilan Anton yang religius
tersebut.
Kapolri mestinya tetap mempertahankan atau memberikan posisi yang
lebih baik kepada petinggi polisi seperti Anton. Sebab, tak banyak
polisi sekualitas Anton. Kinerja dan perilakunya yang baik sangat
bermanfaat untuk memperbaiki citra kepolisian. Terutama saat ini
ketika citra polisi sudah jatuh pada titik yang paling nadir.
Beda Anton, beda pula Susno yang bisa dibilang lebih beruntung. Jika
banyak orang merasa kecewa atas mutasi Anton, sebaliknya, publik
ngedumel karena Susno tidak juga dinonaktifkan dari jabatan
Kabareskrim. Bahkan, Kapolri terkesan melindungi dan membela Susno
Duadji. Padahal, dialah biang kekusutan dalam konflik antara polisi
dan KPK yang tak kunjung berakhir itu.
Nama Susno Duadjo sebelumnya tidak masuk bursa menjadi Kabareskrim.
Perwira tinggi polisi kelahiran Palembang ini tidak disebut-sebut
sebagai orang yang akan mengisi kursi yang ditinggalkan BHD menjadi
Kapolri. Saat itu, nama-nama calon Kabareskrim yang muncul adalah
Wakabareskrim Irjen Pol Paulus Purwoko (Akpol 77), Irjen Pol Kadiv
Telematika Irjen Alex Bambang Riatmodjo (Akpol 77), Komjen Pol Gories
Mere (Akpol 76), Kadiv Binkum Irjen Pol Ariyanto Sutadi (Akpol 77),
dan Irjen Pol Edi Darnadi (Akpol 74).
Baru belakangan nama Susno (Akpol 77) muncul dan langsung terpilih
menjadi Kabareskrim. Saat itu, muncul kabar bahwa naiknya Susno
menjadi bos reserse kriminal karena tiket yang diberikan Mensesneg
Hatta Rajasa (sekarang Menko Perekonomian). Tapi, kabar itu langsung
dibantah oleh Hatta Rajasa. Dia mengaku tidak punya hubungan khusus
dengan Susno, meski sama-sama berasal dari Palembang. Dia juga
membantah mencalonkan Susno sebagai Kabareskrim.
Kini, ketika figur Susno terkesan kebal dan kuat, kita kembali
teringat dengan berita tersebut. Bagaimana Kapolri mau pasang badan
hanya untuk membela Susno? Publik bertanya, adakah beking lainnya yang
lebih besar berada di belakang Susno? Kapolri harus bisa menjawab
semua pertanyaan itu dengan mengusutnya secara objektif dan
transparan. (*)
*) Imam Syafi’i , Pemred JTV, Ombudsman Jawa Pos